Kemungkinan Pelanggaran Calon Petahana dan Non Petahana
Legal Standing sebagai Pelapor dalam Laporan Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 merupakan momen penting dalam proses demokrasi di Indonesia, di mana masyarakat di seluruh wilayah memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota beserta wakilnya. Namun, dalam pelaksanaannya, potensi terjadinya pelanggaran pemilu, terutama yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), perlu mendapatkan perhatian serius. Salah satu instrumen penting untuk mencegah atau menindak pelanggaran ini adalah adanya pelapor yang memiliki legal standing yang jelas.
Definisi Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM)
Sebelum membahas lebih lanjut tentang legal standing, penting memahami apa yang dimaksud dengan pelanggaran TSM. Pelanggaran TSM adalah pelanggaran yang dilakukan dengan:
- Terstruktur: Dilakukan oleh aparatur atau lembaga yang memiliki otoritas dan menggunakan fasilitas negara untuk memenangkan calon tertentu.
- Sistematis: Pelanggaran dilakukan dengan perencanaan yang matang dan diorganisasi secara baik.
- Masif: Dampak dari pelanggaran tersebut meluas dan mempengaruhi sebagian besar wilayah pemilihan.
Legal Standing sebagai Pelapor
Legal standing merupakan hak dan kewenangan seseorang atau sekelompok orang untuk mengajukan laporan atau gugatan terkait pelanggaran hukum yang terjadi.
Dalam konteks Pilkada, Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara TSM, mengatur dengan jelas siapa saja yang memiliki legal standing sebagai pelapor.
Siapa yang Memiliki Legal Standing?
Berdasarkan ketentuan tersebut, pelapor dalam laporan pelanggaran TSM di Pilkada 2024 dapat terdiri atas:
- Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak pilih: Setiap warga negara yang terdaftar sebagai pemilih di wilayah pemilihan setempat memiliki hak untuk melaporkan pelanggaran yang mereka ketahui atau alami.
- Pemantau Pemilihan: Lembaga pemantau yang telah terakreditasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga memiliki hak untuk melaporkan dugaan pelanggaran TSM. Pemantau ini biasanya adalah organisasi non-pemerintah atau lembaga independen yang memiliki peran dalam mengawasi jalannya pemilu.
- Peserta Pemilihan: Kandidat atau pasangan calon yang berkompetisi dalam pemilihan juga berhak mengajukan laporan jika menemukan pelanggaran TSM yang dilakukan oleh lawan mereka.
- Tim Kampanye Peserta Pemilihan: Tim kampanye yang telah terdaftar secara resmi di KPU juga dapat melaporkan dugaan pelanggaran TSM yang dilakukan oleh pihak lain.
- Bawaslu Kabupaten/Kota: Lembaga pengawas pemilihan di tingkat kabupaten/kota yang menemukan adanya indikasi pelanggaran TSM dapat secara langsung mengajukan laporan.
Syarat Pelaporan
Agar laporan pelanggaran TSM dapat diproses oleh Bawaslu, pelapor harus memenuhi beberapa syarat formal dan materil, di antaranya:
- Syarat formal: Identitas pelapor, terlapor, dan waktu penyampaian laporan yang harus disampaikan dalam batas waktu yang telah ditentukan.
- Syarat materil: Uraian lengkap mengenai peristiwa pelanggaran dan bukti-bukti pendukung yang dapat menguatkan dugaan pelanggaran tersebut.
- Laporan harus dibuat dalam bentuk tertulis dan disampaikan sesuai dengan format yang telah ditetapkan oleh Bawaslu, serta disertai dengan dokumen pendukung seperti KTP pelapor dan bukti pelanggaran.
Peran Bawaslu Provinsi dalam Memproses Laporan TSM
Bawaslu memiliki peran sentral dalam menerima dan memproses laporan TSM. Setelah laporan diterima, Bawaslu akan memeriksa kelengkapan administrasi laporan, melakukan investigasi, dan jika terbukti, dapat memberikan sanksi kepada peserta pemilihan yang terbukti melanggar. Salah satu sanksi berat yang dapat dijatuhkan adalah diskualifikasi terhadap calon yang terbukti melakukan pelanggaran TSM.
Potensi Petahana Menjadi Terlapor dalam Laporan Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) di Pemilihan Kepala Daerah 2024
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 tidak hanya menjadi momen penting bagi calon-calon baru, tetapi juga bagi petahana yang mencalonkan diri kembali. Dalam berbagai pemilu, petahana memiliki keunggulan karena akses terhadap sumber daya negara dan jaringan birokrasi yang lebih kuat. Namun, keunggulan ini juga berpotensi membawa risiko, terutama jika tidak digunakan secara etis dan sesuai aturan. Petahana dapat menjadi terlapor dalam laporan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), jika terbukti menyalahgunakan posisinya untuk keuntungan pribadi dalam pemilihan.
Pengertian Petahana dan Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
- Petahana adalah pejabat yang sedang menjabat dan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan yang sama. Dalam konteks pemilihan Gubernur, Bupati, atau Walikota, petahana memiliki akses yang lebih besar terhadap fasilitas pemerintahan, sumber daya keuangan, serta otoritas administratif di wilayah yang mereka pimpin.
- Potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana sering kali berkaitan dengan:
- Penggunaan fasilitas negara untuk kampanye: Petahana dapat menggunakan fasilitas pemerintahan, seperti kendaraan dinas atau anggaran pemerintah, untuk tujuan kampanye, yang jelas melanggar aturan pemilihan.
- Mobilisasi aparatur pemerintah: Petahana memiliki akses ke aparat pemerintahan seperti lurah, camat, hingga perangkat desa/kelurahan, yang dapat dimobilisasi untuk mendukung kampanye, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD): Alokasi APBD yang tidak semestinya atau yang diarahkan secara strategis untuk program-program populis selama masa kampanye bisa menjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Potensi Petahana Menjadi Terlapor dalam Pelanggaran TSM
Dalam banyak kasus, petahana berpotensi menjadi terlapor dalam laporan TSM karena pengaruh kekuasaan mereka yang besar dan terkonsentrasi di wilayah pemerintahan. Berdasarkan Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020, pelanggaran TSM yang dapat dilaporkan meliputi tindakan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Petahana yang terbukti memanfaatkan kekuasaan dan jabatannya untuk mempengaruhi hasil pemilihan dapat dilaporkan dan dikenai sanksi berat, termasuk diskualifikasi.
Adapun beberapa potensi pelanggaran yang dapat dilakukan oleh petahana antara lain:
- Penggunaan Jaringan Birokrasi untuk Kampanye Petahana memiliki akses langsung terhadap struktur birokrasi, dari pejabat tinggi hingga perangkat daerah seperti camat dan lurah. Potensi pelanggaran terjadi ketika petahana menggunakan aparat birokrasi untuk mendukung kampanye mereka. Misalnya, memerintahkan lurah atau camat untuk mengarahkan warga mendukung petahana, atau menggunakan pertemuan resmi pemerintah sebagai ajang kampanye terselubung.
- Penggunaan APBD untuk Program Populis Selama Masa Kampanye Penyalahgunaan anggaran pemerintah daerah untuk mendanai program-program yang bersifat populis dan hanya bertujuan untuk meraih suara bisa menjadi bentuk pelanggaran TSM. Contoh klasik adalah pemberian bantuan sosial yang tiba-tiba meningkat drastis atau realisasi program infrastruktur menjelang pemilihan, yang bertujuan mempengaruhi pemilih secara masif.
- Manipulasi Kegiatan Resmi Pemerintahan Petahana dapat memanfaatkan kegiatan pemerintahan yang seharusnya netral untuk keuntungan politiknya. Misalnya, menggelar acara-acara resmi dengan mengundang masyarakat luas, yang kemudian digunakan sebagai ajang kampanye dengan menonjolkan diri sebagai calon terpilih.
Sanksi bagi Petahana yang Melakukan Pelanggaran TSM
Jika terbukti melakukan pelanggaran TSM, petahana dapat dikenai sanksi berat. Berdasarkan Pasal 44 Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020, amar putusan jika terlapor terbukti melakukan pelanggaran TSM bisa berupa:
- Diskualifikasi sebagai peserta pemilihan: Jika Bawaslu dan lembaga terkait menemukan bukti kuat bahwa petahana melakukan pelanggaran TSM, maka pasangan calon tersebut bisa didiskualifikasi dan dicabut haknya sebagai peserta pemilihan.
- Perintah kepada KPU untuk membatalkan penetapan pasangan calon: KPU akan diperintahkan untuk membatalkan penetapan pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran TSM, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan pencalonan.
Peran Bawaslu dalam Pengawasan Petahana
Dalam Pilkada 2024, Bawaslu memiliki tugas penting untuk mengawasi semua calon, termasuk petahana, agar pemilihan berlangsung secara adil dan bebas dari pelanggaran.
Salah satu tantangan terbesar adalah memastikan bahwa petahana tidak menyalahgunakan jabatannya. Bawaslu berwenang memeriksa laporan, mengumpulkan bukti, serta memberikan putusan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh petahana.
Untuk menghindari risiko terjadinya pelanggaran oleh petahana, Bawaslu perlu melakukan:
- Pengawasan ketat terhadap penggunaan APBD selama masa kampanye.
- Pemantauan langsung terhadap kegiatan pemerintahan yang dilakukan petahana, terutama yang berpotensi disalahgunakan untuk kampanye.
- Koordinasi dengan masyarakat dan lembaga pemantau agar laporan pelanggaran dapat segera ditindaklanjuti.
Kemungkinan Calon Non-Petahana Melakukan Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam Pilkada 2024
Tidak hanya petahana, calon non-petahana (atau calon baru) juga memiliki potensi untuk melakukan pelanggaran dalam bentuk terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024. Meski mereka tidak memiliki akses langsung ke sumber daya negara, calon non-petahana sering kali memiliki cara lain untuk memengaruhi pemilih secara tidak etis dan ilegal. Hal ini penting untuk diawasi oleh Bawaslu dan masyarakat, mengingat TSM dapat merusak integritas pemilihan dan demokrasi secara umum.
Definisi Pelanggaran TSM
Pelanggaran TSM adalah pelanggaran yang dilakukan dengan cara:
- Terstruktur: Pelanggaran dilakukan oleh kelompok atau organisasi dengan struktur yang kuat, biasanya melibatkan jaringan pendukung atau partai politik.
- Sistematis: Dilakukan dengan perencanaan yang matang dan disengaja.
- Masif: Dampak pelanggaran meluas dan mempengaruhi sebagian besar wilayah pemilihan.
Dalam konteks ini, calon non-petahana bisa melakukan pelanggaran TSM dengan berbagai cara, menggunakan jaringan politik, sumber daya finansial, dan pendekatan lain untuk memengaruhi hasil pemilihan.
Potensi Pelanggaran TSM oleh Calon Non-Petahana
Berikut adalah beberapa bentuk pelanggaran TSM yang dapat dilakukan oleh calon non-petahana dalam Pilkada 2024:
- Money Politics (Politik Uang)
Salah satu bentuk pelanggaran TSM yang sering dilakukan oleh calon non-petahana adalah money politics. Calon non-petahana, terutama yang didukung oleh sponsor finansial yang kuat, sering kali menggunakan kekuatan uang untuk membeli suara secara masif.
Money politics dapat dilakukan melalui:
- Pemberian uang tunai atau barang kepada pemilih di wilayah tertentu dengan imbalan suara.
-Pembagian sembako atau hadiah lainnya sebagai upaya untuk memengaruhi pilihan pemilih secara masif di berbagai kecamatan atau kelurahan.
Pelanggaran ini menjadi terstruktur jika dilakukan melalui jaringan tim sukses yang terorganisir, dan sistematis jika dilakukan dengan perencanaan untuk menyasar pemilih di daerah-daerah strategis. Jika dilakukan di banyak tempat secara bersamaan, tindakan ini menjadi masif dan dapat memengaruhi hasil pemilihan secara luas.
- Pemanfaatan Jaringan Partai Politik
Calon non-petahana yang diusung oleh partai politik memiliki akses kepada jaringan politik yang kuat, termasuk tim kampanye dan simpatisan partai. Jika jaringan ini digunakan untuk memobilisasi suara dengan cara melanggar aturan pemilu, seperti memanfaatkan fasilitas partai untuk kegiatan kampanye ilegal, pelanggaran tersebut dapat dianggap sebagai TSM.
Misalnya, penggunaan kantor partai untuk kegiatan kampanye terselubung, atau pengumpulan dukungan dengan memanfaatkan simpatisan partai untuk membagikan bantuan dengan imbalan dukungan suara, merupakan bentuk pelanggaran yang bisa dikategorikan sebagai TSM jika dilakukan secara luas dan sistematis.
- Pemanfaatan Dukungan dari Pengusaha atau Kelompok Kepentingan
Calon non-petahana yang memiliki dukungan dari pengusaha atau kelompok kepentingan lainnya sering kali memanfaatkan sumber daya finansial dari pihak-pihak tersebut untuk kegiatan kampanye yang melanggar aturan.
Dukungan ini bisa berupa:
- Penggalangan dana dalam jumlah besar yang kemudian digunakan untuk membiayai kampanye ilegal.
- Pemberian fasilitas atau bantuan dari perusahaan atau pengusaha kepada masyarakat dengan tujuan memengaruhi pemilih untuk mendukung calon tertentu.
Jika dilakukan secara terstruktur dan melibatkan jaringan bisnis besar, tindakan ini bisa menjadi sistematis dan masif, terutama jika dilakukan di berbagai wilayah pemilihan. Hal ini berpotensi merusak integritas pemilihan karena calon non-petahana dapat mengendalikan suara pemilih melalui dukungan finansial yang tidak sah.
- Manipulasi Data Pemilih
Calon non-petahana juga bisa melakukan pelanggaran TSM dengan memanipulasi data pemilih. Tindakan ini bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan oknum di Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Dinas Kependudukan setempat.
Manipulasi data pemilih dapat mencakup:
- Penambahan pemilih fiktif atau pemilih ganda untuk mendongkrak perolehan suara calon tertentu.
- Menghilangkan atau mengubah daftar pemilih tetap (DPT) di daerah-daerah yang diduga kurang mendukung calon tersebut, sehingga mengurangi potensi suara lawan.
Jika pelanggaran ini dilakukan di banyak wilayah dan dengan keterlibatan pihak-pihak tertentu, pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai TSM.
- Penggunaan Media Sosial untuk Disinformasi dan Kampanye Hitam
Dengan kemajuan teknologi, calon non-petahana dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan atau melakukan kampanye hitam terhadap lawan politik. Disinformasi dan kampanye hitam yang dilakukan secara terstruktur, menggunakan jaringan media sosial yang luas, dapat mempengaruhi persepsi masyarakat secara masif.
Contoh pelanggaran ini adalah penggunaan buzzer atau tim media sosial yang terorganisir untuk menyebarkan berita palsu (hoaks) atau menciptakan narasi negatif terhadap calon lawan. Tindakan ini bisa sangat sistematis dan direncanakan secara matang, serta dilakukan di berbagai platform media sosial untuk menyasar pemilih di berbagai daerah.
Sanksi terhadap Calon Non-Petahana yang Melakukan Pelanggaran TSM
Jika terbukti melakukan pelanggaran TSM, calon non-petahana dapat dikenai sanksi yang sama seperti calon petahana. Berdasarkan Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020, sanksi yang dapat dijatuhkan antara lain:
- Diskualifikasi sebagai peserta pemilihan jika terbukti melakukan pelanggaran TSM.
- Pembatalan penetapan sebagai calon oleh KPU, setelah ada putusan dari Bawaslu yang menyatakan calon tersebut bersalah melakukan pelanggaran TSM.
Kesimpulan
Dalam Pilkada serentak 2024, pelanggaran TSM menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, peran pelapor yang memiliki legal standing sangat penting untuk menjaga integritas proses pemilihan. Dengan adanya ketentuan yang jelas tentang siapa saja yang dapat menjadi pelapor, diharapkan masyarakat, pemantau, dan peserta pemilihan dapat berpartisipasi aktif dalam melaporkan setiap dugaan pelanggaran, sehingga pemilihan yang bebas, jujur, dan adil dapat terwujud.
Melalui upaya ini, Bawaslu dapat memastikan bahwa setiap pelanggaran, terutama yang bersifat TSM, dapat ditindak tegas demi menjaga demokrasi di Indonesia.
Petahana memiliki potensi besar untuk menjadi terlapor dalam laporan pelanggaran TSM, terutama jika mereka menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dalam pemilihan. Penyalahgunaan fasilitas negara, pemanfaatan birokrasi, dan penggunaan APBD untuk program populis adalah beberapa bentuk pelanggaran yang sering terjadi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, lembaga pemantau, serta Bawaslu untuk melakukan pengawasan ketat terhadap petahana demi memastikan Pilkada 2024 berlangsung secara jujur dan adil.
Selain itu, meskipun calon non-petahana tidak memiliki akses langsung terhadap fasilitas negara, mereka tetap juga berpotensi melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilkada 2024.
Pelanggaran seperti money politics, pemanfaatan jaringan politik dan dukungan finansial, serta manipulasi data pemilih dan kampanye disinformasi melalui media sosial adalah beberapa contoh pelanggaran yang bisa dilakukan secara TSM oleh calon non-petahana.
Pengawasan ketat dari Bawaslu serta partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk mencegah dan menindak pelanggaran ini, demi terciptanya pemilihan yang jujur, adil, dan langsung, umum bebas dan rahasia yang tentunya bebas dari manipulasi.
JUENDI LEKSA UTAMA
KETUA LAMPUNG CORRUPTION WATCH